Nama Paul Agusta mulai jadi pembicaraan di forum-forum film melalui dua debutnya: At the Very Bottom of Everything dan Kado Hari Jadi (yang ini saya belum berkesempatan nonton). Kemarin, Jumat, 18 Maret 2011, Paul Agusta menyelenggarakan semacam nobar (nonton bareng) At the Very Bottom of Everything (film besutannya) di Gedung Kesenian Solo. Saya mengetahui acara tersebut dari mention seorang teman twitter yang me-retwet ajakan Paul Agusta untuk nonton. Gratis. Penasaran, saya pun datang, walaupun agak minder dan malu-malu karena semua yang hadir di sana rata-rata, kalau nggak wartawan, ya para pekerja film independen muda dari Solo. Lima film besutan Paul Agusta ditayangkan di acara tersebut.
Dari kelima film itu, jujur saja saya hanya suka dengan tiga film pertama, tetapi tidak terlalu menyukai dua film terakhir (The Game Kiss dan At the Very Bottom of Everything).
Dari kelima film itu, jujur saja saya hanya suka dengan tiga film pertama, tetapi tidak terlalu menyukai dua film terakhir (The Game Kiss dan At the Very Bottom of Everything).
Small Miracle
Tahun Rilis: ????
Ini film pertama yang diputar di acara tersebut. Mungkin lebih cocok disebut video art ketimbang film. Whatever they named it, yang penting nonton. Hohoho. Dan seperti yang dibilang Paul Agusta, mungkin hanya si sutradara sendiri yang tahu apa makna sebenarnya di balik film ini? Mungkin curhat terselubung (mengingat Paul Agusta mengakui kalau dia cenderung “curhat” dalam karya-karyanya). Apapun makna sebenarnya, yang saya lakukan ya cuma nonton. Kalau suka saya bilang suka, dan kalau tidak suka ya tidak suka.
Anehnya, yang terbesit di kepala saya ketika melihat semacam spektrum-spektrum (?) bulat bergerak di layar justru proses pembuahan dalam tubuh manusia. Maksud saya, ya proses sperma bertemu ovum. Apakah memang otak saya sejorok itu? Atau justru saya malah berpikiran teralu lugu? Entahlah. Tapi setelah dipikir-pikir, sperma dan ovum ya memang mukjizat keci. Tanpa keduanya saya tidak akan bisa mengetik tulisan ini. Tanpa keduanya kalian tidak akan bisa membaca tulisan ini.
Dari segi visual, anehnya juga, ketika melihat Small Miracle ini, justru animasi-animasi pendeknya Ishu Patel yang langsung terbayang di kepala saya. Tanya kenapa? Saya sendiri tidak terlalu tahu. Mungkin karena saya membayangkan andaisaja film ini lebih terkonsep, mungkin bisa jadi, ya, Indonesianya Ishu Patel. Kalau Ishu Patel punya bead mation, mungki Indnesia punya spectrum mation (walau sepertinya sih bukan barang baru lagi)? Cuma pikiran nakal gak jelas semata.
Anehnya, yang terbesit di kepala saya ketika melihat semacam spektrum-spektrum (?) bulat bergerak di layar justru proses pembuahan dalam tubuh manusia. Maksud saya, ya proses sperma bertemu ovum. Apakah memang otak saya sejorok itu? Atau justru saya malah berpikiran teralu lugu? Entahlah. Tapi setelah dipikir-pikir, sperma dan ovum ya memang mukjizat keci. Tanpa keduanya saya tidak akan bisa mengetik tulisan ini. Tanpa keduanya kalian tidak akan bisa membaca tulisan ini.
Dari segi visual, anehnya juga, ketika melihat Small Miracle ini, justru animasi-animasi pendeknya Ishu Patel yang langsung terbayang di kepala saya. Tanya kenapa? Saya sendiri tidak terlalu tahu. Mungkin karena saya membayangkan andaisaja film ini lebih terkonsep, mungkin bisa jadi, ya, Indonesianya Ishu Patel. Kalau Ishu Patel punya bead mation, mungki Indnesia punya spectrum mation (walau sepertinya sih bukan barang baru lagi)? Cuma pikiran nakal gak jelas semata.
The Game Kiss
Pemain: ????
Tahun Rilis: ????
The Game Kiss film keempat yang diputar di acara semalam. Film ini dibuka dengan adegan dua orang bocah SMP (judging by their pants) yang sayangnya sudah tidak mirip lagi bocah SMP. Salah satu bocah tiba-tiba mengambil resiko mencumbu bibir bocah yang satunya lagi. Mungkin ini yang dimaksud dengan Game Kiss di judulnya. Saat itu juga adrenalin saya langsung naik karena pensaran permainan seperti apa sih Game Kiss ini? Sayang segala-gala yang terjadi seanjutnya hanyalah rentetan adegan yang malah simplistik problemanya. Kesannya seperti gampang sekali si bocah yang dicium menerima ciuman temannya? Hanya dengan berani mencium, voila, you got a boy. Tanpa ada pertentangan yang berarti. Kesannya gampang sekali membuka diri tentang orientasi seksual? Kesannya seperti tidak ada resiko sama sekali? Kesannya seperti tidak ada dilema sama sekali? Lantas di mana permainannya?
At the Very Bottom of Everything
Sutradara: Paul Agusta
Pemain: Primawan Luqman Hakim, Kartika Jahja, T. Rifnu Wikana, Bianca Timmerman, Nadia Rachel, Tejo Aribowo
Tahun Rilis: 2010
Ini dia menu utamanya. At the Very Bottom of Everything atau Di Dasar Segalanya merupakan sebuah film eksperimenta non-naratif non-linear. Ketimbang menghadirkan cerita ala-ala sinema mainstream, film ini lebih berupa adegan-adegan imajinatif penuh simbol penuh makna. Adegan-adegan imajinatif tersebut, kurang lebih, mewakili betapa depresinya si narator (Kartika Jahja) yang mengidap bipolar disorder. Film ini dibagi menjadi sepuluh babak yang mewakili berbagai macam fase mental tokoh utama.
Singkat saja, film ini memang seperti sebuah curhat. Apalagi ditambah dengan keberadaan narator itu. Dan Paul juga sudah menegaskan kalau dia memang hobi bikin film curhat. Terlepas dari curhat atau tidak curhat, At the Very Bottom of Everything malah terasa preachy bagi saya. Dipertegas dengan narasi-narasinya. Terutama di babak terakhirnya. Salah satu teman saya bilang kalau film ini ingin dimengerti hanya dari satu sisi saja. Saya rasa saya setuju dengan pendapat tersebut. Dari kacamata saya sebagai penonton At the Very Bottom of Everything hanya meminta penonton mengerti kondisi persona tokoh utama (si penderita), tiapi tidak memberi ruang untuk mengerti sebaliknya. Film ini tidak memberi ruang bagi penonton untuk berargumen. Atau sekedar berpikir, memikirkan dan dipikirkan.
Tapi saya suka kreativitas yang ditampilkan dalam At the Very Bottom of Everything. Keberanian visualnya, stop mation nya, dan kreativitas-kreativitas lainnya.
aargh, saya jadi pengen nonton juga.
BalasHapus