Oleh: Rio Johan (Rijon)Sutradara: Hayao Miyazaki
Tahun Rilis: 1997
Judul Internasional: Princess Mononoke
“Watch closely, this is how you kill a god,” seru Eboshi, pemimpin Iron Town, sembari mengacungkan laras senapannya dengan penuh kebanggan diri tepat ke arah kepala Deer God (dewa yang menjaga hutan). Terhitung sudah tiga kali Eboshi mendentumkan pelurunya ke arah dewa. Pertama ia melukai Nago, dewa babi hutan yang karena kemurkaannya kemudian berubah menjadi iblis dan melarikan diri ke timur. Sialnya kutukan Nago malah mengenai Ashitaka, seorang pangeran dari Emishi. Karena kutukan itu pula Ashitaka terpaksa meninggalkan sukunya. Mencari asal muasal kutukan tersebut.
Ashitaka itu orang luar. Sialnya dia harus melibatkan diri dalam urusan pelik alam versus manusia ini. Dalam sebuah wawancara, Hayao Miyazaki menggambarkan Ashitaka sebagai:
“Ashitaka is not a cheerful, worry-free boy. He is a melancholy boy who has a fate. I feel that I am that way myself, but until now, I have not made a film with such a character. Ashitaka was cursed for a very absurd reason. Sure, Ashitaka did something he should not have done - killing Tatari Gami. But there was enough reason to do so from the humans' viewpoint. Nevertheless, he received a deadly curse. I think that is similar to the lives of people today. I think this is a very absurd thing that is part of life itself.”
Mungkin Ashitaka bisa dibilang salah satu dari sekian banyak pahlawan-pahlawan tipikal klasik: melankolis, naif, tetapi tetap memiliki ketegasan dan seakan-akan selalu tahu langkah-langkah selanjutnya yang harus dilakukan. Memang pahlawan semacam ini lah yang tepat untuk diletakkan di tengah-tengah pertempuran antara manusia melawan alam.
Ketika Ashitaka berjumpa dengan Lady Eboshi, wanita yang bertanggung jawab atas kutukan di tangannya, Ashitaka marah. Tapi, mencoba bijak (dan naif), Ashitaka tetap menahan diri. Lady Eboshi sendiri bukan lah benar-benar sosok buruk yang biasa ditemukan di film-film petualangan. Malah kurang tepat kalau Lady Eboshi disebut sebagai antagonis. Malah Princess Mononoke sendiri bukan tentang protagonis atau antagonis. Hayao Miyazaki sendiri menyebut Lady Eboshi sebagai “revolutionary.”
Eboshi sosok yang bijak, tajam, cerdas, dan berani. Wajar saja para orang kusta menggumi Lady Eboshi yang sudah dengan lapang hati menampung dan mengangkat kehidupan mereka. Wanita-wanita bordil mendapat perlindungan sekaligus pekerjaan di kotanya. Lady Eboshi mempunyai kebanggaan dan kepercayaan diri tinggi, sehingga berani menatang para dewa. Lady Eboshi memang punya motif melakukan semua perlakuan-perlakuan yang membangkitkan amarah alam. Tindakannya mungkin salah. Namun beberapa motif bisa dimaklumi, tidak bisa disimpulkan hanya semata-mata karena keserakahan.
Ketika Lady Eboshi dan San berduel, dengan naif Ashitaka menjadi penengah. Menyalahkan kebencian masing-masing pihak. Selanjutnya Ashitaka memutuskan untuk menyelamatkan San, keluar dari kota milik Eboshi. San adalah seorang gadis yang diasuh oleh dewa srigala sejak bayi. San membenci manusia. San sendiri manusia. Tapi San menolak kenyataan bahwa dia seorang manusia. Baru menjelang akhir film, San menerima kemanusiaannya.
San dan Ashitaka mempunyai dilema identitas yang kurang lebih yang serupa tapi tak sama. Ashitaka, yang bersemayam setan di tangannya, berusaha mati-matian untuk mempertahankan nilai-nilai kemanusiaannya. Sementara San berusaha mati-matian menolak identitasnya sebagai manusia. Ketika berjumpa dengan San, Ashitaka merasakan (semacam) cinta. Dan cinta merupakan sesuatu yang bakal mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan Ashitaka. Namun bagi San, cinta Ashitaka malah semakin mengancam identitasnya sebagai seorang putri dewa serigala. San kaget ketika mendengar ucapan “You're beautiful” dari Ashitaka.
Ketiga tokoh tersebut mempunyai keyakinan sendiri-sendiri. Motif sendiri-sendiri. Dan cara sendiri-sendiri. Ketiganya bergulat di area yang sama. Dihadapkan pada permasalahan yang sama (dengan sudut pandang masing-masing). Princess Mononoke memang bukan cerita yang benar-benar baru. Malah sebuah cerita tua. Bisa juga dibilang sebuah dongeng. Dongeng yang disulap dengan cara yang luar biasa oleh Hayao Miyazaki. Sekalipun dongeng ini tidak diakhir dengan akhir yang bahagia, ending yang ditunjukkan memberikan harapan pada masing-masing pihak. Sekalipun berkas di tangan Ashitaka tidak benar-benar hilang, sekalipun San tidak benar-benar menerima dirinya sebagai manusia, sekalipun kota yang dibangun Eboshi hancur lebur, selalu ada harapan untuk masa depan yang lebih baik.
Tahun Rilis: 1997
Judul Internasional: Princess Mononoke
“Watch closely, this is how you kill a god,” seru Eboshi, pemimpin Iron Town, sembari mengacungkan laras senapannya dengan penuh kebanggan diri tepat ke arah kepala Deer God (dewa yang menjaga hutan). Terhitung sudah tiga kali Eboshi mendentumkan pelurunya ke arah dewa. Pertama ia melukai Nago, dewa babi hutan yang karena kemurkaannya kemudian berubah menjadi iblis dan melarikan diri ke timur. Sialnya kutukan Nago malah mengenai Ashitaka, seorang pangeran dari Emishi. Karena kutukan itu pula Ashitaka terpaksa meninggalkan sukunya. Mencari asal muasal kutukan tersebut.
Ashitaka itu orang luar. Sialnya dia harus melibatkan diri dalam urusan pelik alam versus manusia ini. Dalam sebuah wawancara, Hayao Miyazaki menggambarkan Ashitaka sebagai:
“Ashitaka is not a cheerful, worry-free boy. He is a melancholy boy who has a fate. I feel that I am that way myself, but until now, I have not made a film with such a character. Ashitaka was cursed for a very absurd reason. Sure, Ashitaka did something he should not have done - killing Tatari Gami. But there was enough reason to do so from the humans' viewpoint. Nevertheless, he received a deadly curse. I think that is similar to the lives of people today. I think this is a very absurd thing that is part of life itself.”
Mungkin Ashitaka bisa dibilang salah satu dari sekian banyak pahlawan-pahlawan tipikal klasik: melankolis, naif, tetapi tetap memiliki ketegasan dan seakan-akan selalu tahu langkah-langkah selanjutnya yang harus dilakukan. Memang pahlawan semacam ini lah yang tepat untuk diletakkan di tengah-tengah pertempuran antara manusia melawan alam.
Ketika Ashitaka berjumpa dengan Lady Eboshi, wanita yang bertanggung jawab atas kutukan di tangannya, Ashitaka marah. Tapi, mencoba bijak (dan naif), Ashitaka tetap menahan diri. Lady Eboshi sendiri bukan lah benar-benar sosok buruk yang biasa ditemukan di film-film petualangan. Malah kurang tepat kalau Lady Eboshi disebut sebagai antagonis. Malah Princess Mononoke sendiri bukan tentang protagonis atau antagonis. Hayao Miyazaki sendiri menyebut Lady Eboshi sebagai “revolutionary.”
Eboshi sosok yang bijak, tajam, cerdas, dan berani. Wajar saja para orang kusta menggumi Lady Eboshi yang sudah dengan lapang hati menampung dan mengangkat kehidupan mereka. Wanita-wanita bordil mendapat perlindungan sekaligus pekerjaan di kotanya. Lady Eboshi mempunyai kebanggaan dan kepercayaan diri tinggi, sehingga berani menatang para dewa. Lady Eboshi memang punya motif melakukan semua perlakuan-perlakuan yang membangkitkan amarah alam. Tindakannya mungkin salah. Namun beberapa motif bisa dimaklumi, tidak bisa disimpulkan hanya semata-mata karena keserakahan.
Ketika Lady Eboshi dan San berduel, dengan naif Ashitaka menjadi penengah. Menyalahkan kebencian masing-masing pihak. Selanjutnya Ashitaka memutuskan untuk menyelamatkan San, keluar dari kota milik Eboshi. San adalah seorang gadis yang diasuh oleh dewa srigala sejak bayi. San membenci manusia. San sendiri manusia. Tapi San menolak kenyataan bahwa dia seorang manusia. Baru menjelang akhir film, San menerima kemanusiaannya.
San dan Ashitaka mempunyai dilema identitas yang kurang lebih yang serupa tapi tak sama. Ashitaka, yang bersemayam setan di tangannya, berusaha mati-matian untuk mempertahankan nilai-nilai kemanusiaannya. Sementara San berusaha mati-matian menolak identitasnya sebagai manusia. Ketika berjumpa dengan San, Ashitaka merasakan (semacam) cinta. Dan cinta merupakan sesuatu yang bakal mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan Ashitaka. Namun bagi San, cinta Ashitaka malah semakin mengancam identitasnya sebagai seorang putri dewa serigala. San kaget ketika mendengar ucapan “You're beautiful” dari Ashitaka.
Ketiga tokoh tersebut mempunyai keyakinan sendiri-sendiri. Motif sendiri-sendiri. Dan cara sendiri-sendiri. Ketiganya bergulat di area yang sama. Dihadapkan pada permasalahan yang sama (dengan sudut pandang masing-masing). Princess Mononoke memang bukan cerita yang benar-benar baru. Malah sebuah cerita tua. Bisa juga dibilang sebuah dongeng. Dongeng yang disulap dengan cara yang luar biasa oleh Hayao Miyazaki. Sekalipun dongeng ini tidak diakhir dengan akhir yang bahagia, ending yang ditunjukkan memberikan harapan pada masing-masing pihak. Sekalipun berkas di tangan Ashitaka tidak benar-benar hilang, sekalipun San tidak benar-benar menerima dirinya sebagai manusia, sekalipun kota yang dibangun Eboshi hancur lebur, selalu ada harapan untuk masa depan yang lebih baik.
tulisan anda membuktkan bahwa film animasi Hayao Miyazaki selalu dapat di interpretasikan dengan berbagai cara (in a good way). dan ini adalah sebuah interpretasi yang baru bagi saya. btw udah nonton Totoro?
BalasHapusSudah. Ini juga sebenarnya sudah lama nonton, cuma ditonton ulang, dan direview. Mungkin kalau nanti Totoro kutonton ulang, bakal kureview juga.
BalasHapusSebenarnya gampang saja kalau mau membahas Princess Mononoke dari sudut pandang lingkungannya -- kaca mata yang paling transparan, kurasa. Tapi tulisan ini ya bakal sama dengan review-review lainnya. Cuma berusaha melihat dari sudut lain saja.
Princess Mononoke ini filmnya Miyazaki yang paling kusuka.
saya juga nunggu review totoro dari sudut pandang lain mas selain penggambaran desanya yang bener-bener indah
BalasHapus*hahah terobsesi tulisan disini
Princess mononoke filmnya sangat sedih �� ashitaka berjuang mati2an, namun akhirnya tidak bersama san maupun pulang ke kampung halaman ����
BalasHapus