Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Martin Koolhoven
Pemain: Martijn Lakemeier, Yorick van Wageningen, Jamie Campbell Bower, Raymond Thiry, Melody Klaver, Anneke Blok, Mees Peijnenburg, Tygo Gernandt, Dan van Husen, Ad van Kempen, Jesse van Driel
Tahun Rilis: 2008
Judul Internasional: Winter in Wartime
Diadaptasi dari novel Winter in Wartime karya Jan Terlouw.
Sutradara: Martin Koolhoven
Pemain: Martijn Lakemeier, Yorick van Wageningen, Jamie Campbell Bower, Raymond Thiry, Melody Klaver, Anneke Blok, Mees Peijnenburg, Tygo Gernandt, Dan van Husen, Ad van Kempen, Jesse van Driel
Tahun Rilis: 2008
Judul Internasional: Winter in Wartime
Diadaptasi dari novel Winter in Wartime karya Jan Terlouw.
Perang sudah jadi salah satu subyek yang sangat umum dalam dunia perfilman, mulai dari PDI, PDII, Perang Vietnam, perang-perang saudara, sampai perang-perang dalam mitologi Yunani atau Romawi. Topik ini sudah meluas ke berbagai macam genre, tidak hanya genre perang semata, tapi juga drama, aksi, thriller, komedi, black comedy bahkan musikal. Bahkan sudah banyak film berlatar perang dengan berbagai macam sudut pandang, mulai dari petani, pelacur, seniman, mata-mata, tentara, kekasih, tua, muda, hingga tokoh-tokoh berpengaruh seperti Adolf Hitler. Oorlogswinter, atau dikenal dengan judul Winter in Wartime, adalah salah satu film yang menyuguhkan perang dari kacamata seorang anak-anak. Film ini jelas memang bukan film pertama yang mengambil sudut pandang anak-anak untuk menggambarkan perang, René Clément pernah menyajikan kisah tentang bagaimana anak-anak menghadapi luka dan dilema perang dalam Jeux interdits (1952), Steven Spielberg juga penah menyuguhkan Empire of the Sun (1978), dan masalah kemanusiaan pun tidak pernah luput dari perang dan anak-anak, seperti dalam film The Boy in the Stripped Pajamas (2008), dan masih banyak lagi tentunya.
Kalau dilihat dari segi konteks cerita, Winter in Wartime lebih serupa dengan Sophie Scholl: The Final Days (2005), sebuah film biopic dari German tentang siswi German (Sophie Scholl) yang nyawanya berakhir di ujung Guillotine karena diam-diam menjadi anggota kelompok resistansi. Winter in Wartime bercerita tentang seorang bocah Belanda yang diam-diam menolong seorang tentara Inggris. Film ini diproduki oleh produser yang sama dengan Black Book, yang notabene juga berlatar Belanda pada Perang Dunia II dan juga terbilang film high profile dengan budget besar. Kalau dilihat dari tone-nya, film ini lebih polos dan lugu ketimbang Sophie Scholl: The Final Days yang notabene dibumbui intrik politik. Sebut saja Winter in Wartime sebagai Sophie Scholl: The Final Days dari kacamata The Boy in the Stripped Pajamas.
Bocah yang jadi sentral utama film ini adalah Michiel van Beusekom (Martijn Lakemeier), anak seorang mayor sebuah kota kecil di Belanda (yang sudah dikuasai Nazi). Michiel sedang di usia gerbang keremajaan, jadi jelas sekali unsur coming of age di sini sangat kental. Michiel merasa tidak suka (terganggu) dengan sikap ayahnya (Raymond Thiry), seorang mayor (walikota) yang hanya berniat menjaga status quo antara kota dan tentara German. Michiel malah kagum dengan Paman Ben (Yorick van Wageningen), pamannya yang barjiwa petualang, terlebih ketika suatu malam Michiel diam-diam mendapati sebuah surat kontak dengan pasukan resistensi (semacam pasukan pemberontak) di dalam koper pamannya. Kesetiaan dan keyakinan Michiel di uji sepanjang film ini, dan merupakan topik utama coming of age yang disuguhkan. Film ini menyuguhkan sebuah twist di ending-nya, yang tidak akan saya bocorkan. Saya hanya akan bilang, twist ini tidak hanya berfungsi sebagai peluru besar bagi kenikmatan penonton, tapi juga sebagai sebuah ujian utama dari coming of age seorang Michiel. Sisi paling menariknya dari bagian ini adalah menyimak bahwa sebuah fakta umum bahwa dalam perang “tidak semua hal terlihat selalu hitam dan putih” dari kacamata seseorang seusia Michiel. Black Book juga berkata demikian (dari sudut pandang yang lebih dewasa).
Saya belum bicara soal konflik utama film ini. Suatu hari Michiel, atas amanah yang diberikan temannya, menemukan seoarng tentara Inggris yang terluka (Jamie Campbell Bower) bersembunyi di dalam hutan. Michiel pun berteman dengan tentara inggris, yang mulanya tidak percaya, itu. Michiel berniat membantu Jake, nam tentara itu, keluar dari kota dengan aman. Michiel bahkan meminta bantuan kakaknya, Erica (Melody Klave), seorang perawat, untuk merawat luka Jake. Untuk ukuran bocah seumurnya, Michiel termasuk peka. Michiel memperhatikan situasi di sekitarnya, dan dengan begitu Michiel mendapatkan sebuah rencana untuk membawa Jake keluar. Sayangnya rencana ini, tentu saja, tidak segampang yang dipikirkan. Berbagai macam masalah datang sebagai penunda, mulai dari tentara Nazi yang menisir hutan sampai ditemukannya mayat seorang tentara Nazi di hutan. Film ini punya sebuah kerancuan kecil di sini, bagaimana mungkin anjing pelacak tentara Nazi gagal menemukan keberadaan tentara Inggris itu? Tapi kerancuan kecil ini bisa diabaikan karena film ini sudah sangat berhasil memberikan pertunjukkan utama yang sagat menyenangkan.
Penampilan para pemainnya merupakn sesuatu yang patut dipuji dalam Winter in Wartime. Terutama penampilan pemeran utamanya, Martijn Lakemeier (susah bener namanya). Aktor ini berhasil memberikan sebuah penampilan riil sebagai Michiel, bahkan jauh dari apa yang bisa saya harpakan dari seorang aktor seusianya. Jarang sekali menemukan aktor anak-anak yang mampu tampil realistik, melakukan dramatisasi dengan kadar yang pas, bahkan menunjukkan sensitivitas serta sensibilitas yang cukup bagus dalam penampilannya. Apalagi di Indonesia ini, di mana pemeran seusia ini cenderung melakukan dramatisasi berlebihan hanya untuk mendapatkan simpatik dari penonton. Penampilan tokoh utama di film ini bahkan di atas level Laskar Pelangi sekalipun. Anneke Blok memberikan sebuah penampilan spesial di sebuah adegan tokohnya memohon ketika suaminya dipenjara oleh Nazi. Dan pemeran Paman Ben, Yorick van Wageningen, turut menambah kesan realistik bagi film ini.
Film ini pun didukung oleh pemandangan-pemandangan indah. Adegan kejar-kejaran antara kereta kuda tokoh utama dengan kendaraan-kendaraan tentara Nazi menjadi menyenangkan (dan lepas dari kesan mainstream dan artifisial) berkat pemandangan indah di sepanjang adegan itu.
Di Belanda, Winter in Wartime merupakan salah satu film yang sukses di Box Office tahun 2008, mengingat film ini juga bersaing dengan Twilight dan The Dark Knight. Film ini juga menjadi perwakilan Belanda untuk Best Foreign Language Film Oscar 2008. Sama seperti Black Book, film ini hanya berhasil sampai January Shortlist (delapan besar). Terlepas dari semua prestasi itu, Winter in Wartime adalah sebuah tontonan menyenangkan tentang sebuah coming-of-age.
Kalau dilihat dari segi konteks cerita, Winter in Wartime lebih serupa dengan Sophie Scholl: The Final Days (2005), sebuah film biopic dari German tentang siswi German (Sophie Scholl) yang nyawanya berakhir di ujung Guillotine karena diam-diam menjadi anggota kelompok resistansi. Winter in Wartime bercerita tentang seorang bocah Belanda yang diam-diam menolong seorang tentara Inggris. Film ini diproduki oleh produser yang sama dengan Black Book, yang notabene juga berlatar Belanda pada Perang Dunia II dan juga terbilang film high profile dengan budget besar. Kalau dilihat dari tone-nya, film ini lebih polos dan lugu ketimbang Sophie Scholl: The Final Days yang notabene dibumbui intrik politik. Sebut saja Winter in Wartime sebagai Sophie Scholl: The Final Days dari kacamata The Boy in the Stripped Pajamas.
Bocah yang jadi sentral utama film ini adalah Michiel van Beusekom (Martijn Lakemeier), anak seorang mayor sebuah kota kecil di Belanda (yang sudah dikuasai Nazi). Michiel sedang di usia gerbang keremajaan, jadi jelas sekali unsur coming of age di sini sangat kental. Michiel merasa tidak suka (terganggu) dengan sikap ayahnya (Raymond Thiry), seorang mayor (walikota) yang hanya berniat menjaga status quo antara kota dan tentara German. Michiel malah kagum dengan Paman Ben (Yorick van Wageningen), pamannya yang barjiwa petualang, terlebih ketika suatu malam Michiel diam-diam mendapati sebuah surat kontak dengan pasukan resistensi (semacam pasukan pemberontak) di dalam koper pamannya. Kesetiaan dan keyakinan Michiel di uji sepanjang film ini, dan merupakan topik utama coming of age yang disuguhkan. Film ini menyuguhkan sebuah twist di ending-nya, yang tidak akan saya bocorkan. Saya hanya akan bilang, twist ini tidak hanya berfungsi sebagai peluru besar bagi kenikmatan penonton, tapi juga sebagai sebuah ujian utama dari coming of age seorang Michiel. Sisi paling menariknya dari bagian ini adalah menyimak bahwa sebuah fakta umum bahwa dalam perang “tidak semua hal terlihat selalu hitam dan putih” dari kacamata seseorang seusia Michiel. Black Book juga berkata demikian (dari sudut pandang yang lebih dewasa).
Saya belum bicara soal konflik utama film ini. Suatu hari Michiel, atas amanah yang diberikan temannya, menemukan seoarng tentara Inggris yang terluka (Jamie Campbell Bower) bersembunyi di dalam hutan. Michiel pun berteman dengan tentara inggris, yang mulanya tidak percaya, itu. Michiel berniat membantu Jake, nam tentara itu, keluar dari kota dengan aman. Michiel bahkan meminta bantuan kakaknya, Erica (Melody Klave), seorang perawat, untuk merawat luka Jake. Untuk ukuran bocah seumurnya, Michiel termasuk peka. Michiel memperhatikan situasi di sekitarnya, dan dengan begitu Michiel mendapatkan sebuah rencana untuk membawa Jake keluar. Sayangnya rencana ini, tentu saja, tidak segampang yang dipikirkan. Berbagai macam masalah datang sebagai penunda, mulai dari tentara Nazi yang menisir hutan sampai ditemukannya mayat seorang tentara Nazi di hutan. Film ini punya sebuah kerancuan kecil di sini, bagaimana mungkin anjing pelacak tentara Nazi gagal menemukan keberadaan tentara Inggris itu? Tapi kerancuan kecil ini bisa diabaikan karena film ini sudah sangat berhasil memberikan pertunjukkan utama yang sagat menyenangkan.
Penampilan para pemainnya merupakn sesuatu yang patut dipuji dalam Winter in Wartime. Terutama penampilan pemeran utamanya, Martijn Lakemeier (susah bener namanya). Aktor ini berhasil memberikan sebuah penampilan riil sebagai Michiel, bahkan jauh dari apa yang bisa saya harpakan dari seorang aktor seusianya. Jarang sekali menemukan aktor anak-anak yang mampu tampil realistik, melakukan dramatisasi dengan kadar yang pas, bahkan menunjukkan sensitivitas serta sensibilitas yang cukup bagus dalam penampilannya. Apalagi di Indonesia ini, di mana pemeran seusia ini cenderung melakukan dramatisasi berlebihan hanya untuk mendapatkan simpatik dari penonton. Penampilan tokoh utama di film ini bahkan di atas level Laskar Pelangi sekalipun. Anneke Blok memberikan sebuah penampilan spesial di sebuah adegan tokohnya memohon ketika suaminya dipenjara oleh Nazi. Dan pemeran Paman Ben, Yorick van Wageningen, turut menambah kesan realistik bagi film ini.
Film ini pun didukung oleh pemandangan-pemandangan indah. Adegan kejar-kejaran antara kereta kuda tokoh utama dengan kendaraan-kendaraan tentara Nazi menjadi menyenangkan (dan lepas dari kesan mainstream dan artifisial) berkat pemandangan indah di sepanjang adegan itu.
Di Belanda, Winter in Wartime merupakan salah satu film yang sukses di Box Office tahun 2008, mengingat film ini juga bersaing dengan Twilight dan The Dark Knight. Film ini juga menjadi perwakilan Belanda untuk Best Foreign Language Film Oscar 2008. Sama seperti Black Book, film ini hanya berhasil sampai January Shortlist (delapan besar). Terlepas dari semua prestasi itu, Winter in Wartime adalah sebuah tontonan menyenangkan tentang sebuah coming-of-age.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar