Oleh: Rio Johan (Rijon)Sutradara: Hanny R. Saputra
Pemain: Marcel Chandrawinata, Aurellie Moeremans, Sabai Morscheck, Joanna Alexandra, Sheila Thohir, Ayu Azhari, Ivan Ray
Tahun Rilis: 2010
Pemain: Marcel Chandrawinata, Aurellie Moeremans, Sabai Morscheck, Joanna Alexandra, Sheila Thohir, Ayu Azhari, Ivan Ray
Tahun Rilis: 2010
Nayato sudah pernah memamerkan tontonan tentang kekerasan di sekolah dalam Ekskul, ditambah bumbu-bumbu kontrovers internal maupun eksternalnya. Ekskul, lengkap dengan “style-style Nayatoisme,” mempertontonkan cerita tentang seorang remaja yang menawan beberapa teman sekolahannya yang sudah mem-bully-bully-nya. Ekskul sendiri lebih terfokus pada penawanan dengan beberapa flashback masa lalu suram si remaja penawan, salah satunya mempertontonkan adegan remaja itu digantung di pagar sekolahan sambil ditertawakan. Di mana logikanya? Saya cuma membuat perbandingan. Kenapa saya membandingkan Sweetheart dengan Ekskul? Karena pada akhirnya Sweetheart dan Ekskul sama saja buruknya. Dan itu jujur.
Film ini disutradarai oleh Hanny R. Saputra yang film debutannya adalah Virgin. Jadi jangan heran kalau film tentang penindasan-penindasan suatu geng di sekolah ini dibumbui oleh cerita-cerita tentang seksualitas remaja. Dalam Sweetheart diperkenalkan seorang gadis (Aurellie Moeremans), yang saya lupa nama tokohnya dan saya sama sekali tidak berniat susah-payah cari di Google, yang baru saja masuk SMA khusus perempuan (tidak terlalu dijelaskan kelas berapa). Ada sebuah fakta klise, kalau Anda sudah sering disuapi film-film sekolahan Hollywood pasti mengnggap klise, tentang geng anak-anak paling cantik, paling eksklusif, nan paling populer di sekolahan. Geng ini bernama Sweetheart dan para anggotanya memanggil satu-sama lain dengan sebutan Sweetie. Sebenarnya geng ini terlalu minim anggota untuk dibilang geng, toh anggotanya cuma tiga. Sweetheart ini diketuai oleh seorang model yang katanya sangat terkenal (Sabai Morscheck), yang saya juga lupa nama tokohnya di film. Si model ini punya dua kaki-tangan, yang satu agak sinisme dan yang satu agak (entah lah namanya) lembutisme (, Sheila Thohir dan Joanna Alexandra). Sudah bisa ditebak kalau si model ini ratu di sekolahan, sampai-sampai di sebuah adegan ketika si model memaksa si gadis (tokoh utama) untuk menjilat kemaluannya (mungkin istilah G4H0L-nya: Cunnilingus), si model dengan bangganya berteriak bahwa apa yang baru saja dilakukan si gadis malang itu cuma bisa dimimpikan oleh cowok-cowok. Dan sebuah fakta klise lain, si model ini ternyata anak dari penyumbang dana (gak tau ya terbesar ato nggak) di sekolahan! What a pain!
Ekskul sempat membuat saya bertanya-tanya besar, “Apa benar di sekolahan seperti itu, tindakan penindasan separah, sekstream, dan sekurang ajar itu tidak diketahui oleh pihak berwajib (pengurus sekolah)?” Bukannya saya berkata tidak mungkin tidak ada kasus bullying di sekolahan. Pasti ada. Bahkan di sekolah saya dulu pun ada. Masalahnya cara Nayato Fio Naula merepresentasikan bullying itu yang sama sekali tidak masuk akal. Maksud saya, come on, menggantung seorang siswa di pagar sekolah sampai jadi tontonan heboh, masa sih tidak ada satupun petugas/pengurus sekolah yang tidak menyadari kejadian seheboh itu? Terlebih di dalam Ekskul, Nayato lebih menekankan style-nya dan, entah sengaja atau tidak, menyepelekan apa yang disebut dengan “kedalaman konteks.” Sejauh yang saya tahu sih, bullying di sekolahan umumnya dilakukan diam-diam (ya iya lah!).
Di Sweetheart, well, para ratu-ratu sekolahan ini melakukan bullying dengan cara yang sedikit lebih bisa dipercaya ketimbang di Ekskul. Setidaknya mereka membisikan, “.... elo dan mulut besar elo .... ” sebagai ancaman bagi pengadu-pengadu. Tindakan bullying mereka anarkis. Jelas. Dan Hanny R. Saputra memang bukan sutradara stylish seperti Nayato. Sayagnya, Hanny R. Saputra malah keranjingan membubuhkan cerita sana-sini. Jadilah film ini punya banyak cerita sana-sini, seakan-akan banyak sekali yang mau diceriakan oleh Hanny, dan hasil akhirnya malah numpuk, durasi yang overdosis, dan kehilangan fokus. Sebut saja, si gadis (tokoh utama), yang lagi-lagi, ternyata punya masalah dengan status ibunya (Ayu Azhari) yang seorang istri simpanan pejabat. Diceritakan juga tentang kisah asamara monyet si gadis dengan pemuda yang hobi main sepak bola di dekat rumahnya (Marcel Chandrawinata). Ada juga teman si gadis yang mati-matian pingin jadi anggota Sweetheart. Lalu si mode punya diceritakan punya masalah psikologis terhadap gaya hidupnya yang serba G4H0L, yang akhirnya malah membuatnya seperti seorang psycho. Sayangnya cari Hanny R. Saputra mengemas tidak pernah barhasil meramu kisah-kisah tersebut jadi satu kesatuan dengan baik. Malah, ceria-demi-cerita yang dijejalkan itu seakan-akan seperti sekedar untuk memajangkan durasi semata. Hal ini jelas berbeda dengan pendekatan Nayato yang hanya memfokuskan Ekskul pada bullying dan latar belakang si korban bullying.
Dari segi akting, tidak ada yang bisa dibilang memuaskan di sini. Aurellie Moeremans sama sekali tidak bisa menolong film ini dengan penampilan standarnya. Diperparah pula dengan Sabai Morscheck yang nyaris overacting di sebagian besar penampilannya. Mungkin Sabai mengira berakting menjadi seorang psycho hanya memerlukan penampilan verbal semata. Haruskan remaja psycho-labil ditampilkan sebagai tukang teriak dengan air muka entah-apalah-namanya. Coba lihat penampilan Catalina Saavedra sebagai seorang pembantu dengan sisi psikologis labil di La Nana. Kalaupun memang tokoh model ini ingin digambarkan secara hiperbolik (baik verbal maupun emosional), Sabai Morscheck jelas sudah melupakan sisi emosionalnya (yang riil). Kasus yang sama dengan film-filmnya Nayato, dan sebagian besar film-film Indonesia: Haruskah penonton Indonesia disuapi habis-habisan?
Saya bisa saja membandingkan Sweetheart dengan film bullying lain yang lebih layak, salah satu film school-bullying favorit saya adalah Ondskan dari Swedia. Hanya saja saya merasa Ondskan terlalu jauh untuk dibandingkan dengan Sweetheart.
Film ini disutradarai oleh Hanny R. Saputra yang film debutannya adalah Virgin. Jadi jangan heran kalau film tentang penindasan-penindasan suatu geng di sekolah ini dibumbui oleh cerita-cerita tentang seksualitas remaja. Dalam Sweetheart diperkenalkan seorang gadis (Aurellie Moeremans), yang saya lupa nama tokohnya dan saya sama sekali tidak berniat susah-payah cari di Google, yang baru saja masuk SMA khusus perempuan (tidak terlalu dijelaskan kelas berapa). Ada sebuah fakta klise, kalau Anda sudah sering disuapi film-film sekolahan Hollywood pasti mengnggap klise, tentang geng anak-anak paling cantik, paling eksklusif, nan paling populer di sekolahan. Geng ini bernama Sweetheart dan para anggotanya memanggil satu-sama lain dengan sebutan Sweetie. Sebenarnya geng ini terlalu minim anggota untuk dibilang geng, toh anggotanya cuma tiga. Sweetheart ini diketuai oleh seorang model yang katanya sangat terkenal (Sabai Morscheck), yang saya juga lupa nama tokohnya di film. Si model ini punya dua kaki-tangan, yang satu agak sinisme dan yang satu agak (entah lah namanya) lembutisme (, Sheila Thohir dan Joanna Alexandra). Sudah bisa ditebak kalau si model ini ratu di sekolahan, sampai-sampai di sebuah adegan ketika si model memaksa si gadis (tokoh utama) untuk menjilat kemaluannya (mungkin istilah G4H0L-nya: Cunnilingus), si model dengan bangganya berteriak bahwa apa yang baru saja dilakukan si gadis malang itu cuma bisa dimimpikan oleh cowok-cowok. Dan sebuah fakta klise lain, si model ini ternyata anak dari penyumbang dana (gak tau ya terbesar ato nggak) di sekolahan! What a pain!
Ekskul sempat membuat saya bertanya-tanya besar, “Apa benar di sekolahan seperti itu, tindakan penindasan separah, sekstream, dan sekurang ajar itu tidak diketahui oleh pihak berwajib (pengurus sekolah)?” Bukannya saya berkata tidak mungkin tidak ada kasus bullying di sekolahan. Pasti ada. Bahkan di sekolah saya dulu pun ada. Masalahnya cara Nayato Fio Naula merepresentasikan bullying itu yang sama sekali tidak masuk akal. Maksud saya, come on, menggantung seorang siswa di pagar sekolah sampai jadi tontonan heboh, masa sih tidak ada satupun petugas/pengurus sekolah yang tidak menyadari kejadian seheboh itu? Terlebih di dalam Ekskul, Nayato lebih menekankan style-nya dan, entah sengaja atau tidak, menyepelekan apa yang disebut dengan “kedalaman konteks.” Sejauh yang saya tahu sih, bullying di sekolahan umumnya dilakukan diam-diam (ya iya lah!).
Di Sweetheart, well, para ratu-ratu sekolahan ini melakukan bullying dengan cara yang sedikit lebih bisa dipercaya ketimbang di Ekskul. Setidaknya mereka membisikan, “.... elo dan mulut besar elo .... ” sebagai ancaman bagi pengadu-pengadu. Tindakan bullying mereka anarkis. Jelas. Dan Hanny R. Saputra memang bukan sutradara stylish seperti Nayato. Sayagnya, Hanny R. Saputra malah keranjingan membubuhkan cerita sana-sini. Jadilah film ini punya banyak cerita sana-sini, seakan-akan banyak sekali yang mau diceriakan oleh Hanny, dan hasil akhirnya malah numpuk, durasi yang overdosis, dan kehilangan fokus. Sebut saja, si gadis (tokoh utama), yang lagi-lagi, ternyata punya masalah dengan status ibunya (Ayu Azhari) yang seorang istri simpanan pejabat. Diceritakan juga tentang kisah asamara monyet si gadis dengan pemuda yang hobi main sepak bola di dekat rumahnya (Marcel Chandrawinata). Ada juga teman si gadis yang mati-matian pingin jadi anggota Sweetheart. Lalu si mode punya diceritakan punya masalah psikologis terhadap gaya hidupnya yang serba G4H0L, yang akhirnya malah membuatnya seperti seorang psycho. Sayangnya cari Hanny R. Saputra mengemas tidak pernah barhasil meramu kisah-kisah tersebut jadi satu kesatuan dengan baik. Malah, ceria-demi-cerita yang dijejalkan itu seakan-akan seperti sekedar untuk memajangkan durasi semata. Hal ini jelas berbeda dengan pendekatan Nayato yang hanya memfokuskan Ekskul pada bullying dan latar belakang si korban bullying.
Dari segi akting, tidak ada yang bisa dibilang memuaskan di sini. Aurellie Moeremans sama sekali tidak bisa menolong film ini dengan penampilan standarnya. Diperparah pula dengan Sabai Morscheck yang nyaris overacting di sebagian besar penampilannya. Mungkin Sabai mengira berakting menjadi seorang psycho hanya memerlukan penampilan verbal semata. Haruskan remaja psycho-labil ditampilkan sebagai tukang teriak dengan air muka entah-apalah-namanya. Coba lihat penampilan Catalina Saavedra sebagai seorang pembantu dengan sisi psikologis labil di La Nana. Kalaupun memang tokoh model ini ingin digambarkan secara hiperbolik (baik verbal maupun emosional), Sabai Morscheck jelas sudah melupakan sisi emosionalnya (yang riil). Kasus yang sama dengan film-filmnya Nayato, dan sebagian besar film-film Indonesia: Haruskah penonton Indonesia disuapi habis-habisan?
Saya bisa saja membandingkan Sweetheart dengan film bullying lain yang lebih layak, salah satu film school-bullying favorit saya adalah Ondskan dari Swedia. Hanya saja saya merasa Ondskan terlalu jauh untuk dibandingkan dengan Sweetheart.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar