Oleh: Rio Johan (Rijon)Sutradara: Hanny R. Saputra
Pemain: Acha Septriasa, Irwansyah, Henidar Amroe, Reza Pahlevi, Maudy Koesnaedi, Donni Damara, Reza Rahadian, Bella Graceva, Anbo
Tahun Rilis: 2011
Love Story menggenapkan trilogi Acha-Irwansyah setelah Heart (2006) dan Love is Cinta (2007). Ketiga film tersebut dibesut oleh Hanny R. Saputra, yang juga menyutradarai Virgin dan Mirror (2005). Duet Acha-Irwansyah ini mulai menggelegar dalam film Heart. Kepincut akan kesuksesan tersebut, Hanny dan partner in crime nya, Chand Parwez, kembali memasangkan Acha-Irwansyah dalam Love is Cinta, yang menurut saya tidak lain hanyalah daur-ulang-tidak-resmi dari film Fly Me to Polaris. Yah, secara pribadi saya sama sekali tidak terlalu menyukai Hearts apalagi Love is Cinta.
Menonton Love Story tidak ubahnya menonton dosa-dosa yang terus dilakukan Hanny R. Saputra. Hanny R. Saputra sepertinya tetap saja berbangga hati dengan keburukan-keburukan yang dilakukannya terdahulu, sampai-sampai bisa ditemukan lagi di film ini.
Love Story dimulai dengan narasi tentang dongeng yang memisahkan dua desa antah berantah (yang pasti di suatu tempat di Indonesia). Dongeng tersebut menghasilkan mitos yang sampai era modern ini tetap menjadi tradisi dan tetap dianggap sakral oleh penduduk kedua desa. Mitos ini pula lah yang akhirnya menghalangi hubungan asmara Galih (Irwansyah) dan Ranti (Acha Septriasa), dua sejoli yang hidupnya dipisahkan oleh sungai. Ratna, eh, Ranti, mempunyai mimpi membangun sebuah sekolah kecil-kecilan agar supaya anak-anak dari desa (desa yang mana tidak dijelaskan) tidak perlu berusah payah menempuh perjalanan panjang hanya untuk sekolah. Galih pun, atas nama cintanya, berjuang mati-matian mewujudkan mimpi Ranti, sekaligus membuktikan pada penduduk desa sebesar apa cinta mereka berdua. Kenapa gak Ratna dan Galih aja sih?
Banyak hal yang ganjil yang sialnya cukup menganggu dari setting-an dongeng yang disajikan dalam Love Story. Dari hal yang paling mendasar saja kostum yang digunakan Acha Septriasa dan Irwansyah yang terlalu modern, yang sialnya malah jauh dari kesan dongeng atau cerita rakyat. Urusan sepele lainnya yang sanyangnya sangat menganggu datang dari soundtrack Melly Goeslaw yang sudah jadi langanan trilogi Acha-Irwansyah yang dijadikan backsound di beberapa adegan vital. Sayangnya lagu-lagu Melly kali ini terlalu sophisticated dan sangat tidak padu padan dengan suasana folklore atau fairytale filmnya. Bagian yang paling melukai akal sehat, karena film ini “seakan tetap memertahankan logika,” adalah bagian ketika Irwansyah yang sedang sekarat-di-ujung-ajal membangun sekolah lengkap dengan kincir airnya. Apa mungkin? Lain ceritanya kalau sejak awal Hanny R. Saputra sudah mengarahkan filmnya ke arah-arah folklore atau dongeng surrealis, seperti Kytice, tidak dengan melodrama sinetronis.
Hanny R. Saputra juga tidak memberikan penegasan yang masuk akal dan cukup meyakinkan tentang kenapa para penduduk dua desa tersebut, yang beberapa di antaranya (sepertinya) sudah makan bangku sekolahan, tetap bersikukuh mempertahankan mitos tersebut? Jelas untuk urusan ini Hanny tidak bisa sekedar berpangku tangan dengan alasan “pedalaman.” Di kampung halaman saya pun masih ada orang-orang yang percaya dengan mitos, hanya saja latar mitos yang disajikan Hanny R. Saputra terlalu fairytale untuk mood filmnya (lagi-lagi, mengingat ini bukan dongeng surrealis). Hanny tidak memberikan penegasan lebih jauh tentang keanarkisan penduduk dua desa dalam meyakini mitos tersebut.
Kalau dalam Sweetheart Hanny teramat-sangat bertele-tele dalam berkonflik, Love Story justru kebalikannya. Film ini mengajak penontonnya berjalan di tempat. Sepanjang durasi yang terasa sangat panjang itu konflik tetap saja seputar itu-itu saja. Tidak ada perkembangan yang berarti. Tidak ada kemajuan konflik. Tidak ada perubahan. Tidak ada gejolak yang berarti yang seharusnya dimiliki oleh melodrama semacam ini. Hasilnya, penonton cuma disuguhkan cerita yang begitu-begitu saja, berputar di itu-itu saja. Dan Hanny ngotot sekali memancing kesabaran penontonnya melalui itu-itu saja.
Bahasa sepertinya sudah jadi ciri khas Hanny. Dalam Heart, Love is Cinta, bahkan terakhir Sweetheart, Hanny R. Saputra memampangkan bahasa-bahasa sok tingkat tinggi. Sayangnya bahasa sok puitis sok tingkat tinggi yang ditampilkan terlalu monoton. Kebanyakan tidak penting dan sekedar bergombal ria alias omong kosong belaka yang disusun dengan sangat menjemukan. Mungkin Hanny perlu mencontoh bagaimana Shakespeare in Love, atau film-film shakespearean lainnya mampu menghasilkan dialog-dialog dengan bahasa baku yang dinamis. Sayangnya Hanny adalah Hanny, bukan Shakespeare. Dan filmnya ini terlalu menjemukan untuk diikuiti. Kok mau-maunya Reza Rahadian tampil di film semacam ini, sebagai tokoh minim yang tidak terlalu penting juga?
Pemain: Acha Septriasa, Irwansyah, Henidar Amroe, Reza Pahlevi, Maudy Koesnaedi, Donni Damara, Reza Rahadian, Bella Graceva, Anbo
Tahun Rilis: 2011
Love Story menggenapkan trilogi Acha-Irwansyah setelah Heart (2006) dan Love is Cinta (2007). Ketiga film tersebut dibesut oleh Hanny R. Saputra, yang juga menyutradarai Virgin dan Mirror (2005). Duet Acha-Irwansyah ini mulai menggelegar dalam film Heart. Kepincut akan kesuksesan tersebut, Hanny dan partner in crime nya, Chand Parwez, kembali memasangkan Acha-Irwansyah dalam Love is Cinta, yang menurut saya tidak lain hanyalah daur-ulang-tidak-resmi dari film Fly Me to Polaris. Yah, secara pribadi saya sama sekali tidak terlalu menyukai Hearts apalagi Love is Cinta.
Menonton Love Story tidak ubahnya menonton dosa-dosa yang terus dilakukan Hanny R. Saputra. Hanny R. Saputra sepertinya tetap saja berbangga hati dengan keburukan-keburukan yang dilakukannya terdahulu, sampai-sampai bisa ditemukan lagi di film ini.
Banyak hal yang ganjil yang sialnya cukup menganggu dari setting-an dongeng yang disajikan dalam Love Story. Dari hal yang paling mendasar saja kostum yang digunakan Acha Septriasa dan Irwansyah yang terlalu modern, yang sialnya malah jauh dari kesan dongeng atau cerita rakyat. Urusan sepele lainnya yang sanyangnya sangat menganggu datang dari soundtrack Melly Goeslaw yang sudah jadi langanan trilogi Acha-Irwansyah yang dijadikan backsound di beberapa adegan vital. Sayangnya lagu-lagu Melly kali ini terlalu sophisticated dan sangat tidak padu padan dengan suasana folklore atau fairytale filmnya. Bagian yang paling melukai akal sehat, karena film ini “seakan tetap memertahankan logika,” adalah bagian ketika Irwansyah yang sedang sekarat-di-ujung-ajal membangun sekolah lengkap dengan kincir airnya. Apa mungkin? Lain ceritanya kalau sejak awal Hanny R. Saputra sudah mengarahkan filmnya ke arah-arah folklore atau dongeng surrealis, seperti Kytice, tidak dengan melodrama sinetronis.
Hanny R. Saputra juga tidak memberikan penegasan yang masuk akal dan cukup meyakinkan tentang kenapa para penduduk dua desa tersebut, yang beberapa di antaranya (sepertinya) sudah makan bangku sekolahan, tetap bersikukuh mempertahankan mitos tersebut? Jelas untuk urusan ini Hanny tidak bisa sekedar berpangku tangan dengan alasan “pedalaman.” Di kampung halaman saya pun masih ada orang-orang yang percaya dengan mitos, hanya saja latar mitos yang disajikan Hanny R. Saputra terlalu fairytale untuk mood filmnya (lagi-lagi, mengingat ini bukan dongeng surrealis). Hanny tidak memberikan penegasan lebih jauh tentang keanarkisan penduduk dua desa dalam meyakini mitos tersebut.
Kalau dalam Sweetheart Hanny teramat-sangat bertele-tele dalam berkonflik, Love Story justru kebalikannya. Film ini mengajak penontonnya berjalan di tempat. Sepanjang durasi yang terasa sangat panjang itu konflik tetap saja seputar itu-itu saja. Tidak ada perkembangan yang berarti. Tidak ada kemajuan konflik. Tidak ada perubahan. Tidak ada gejolak yang berarti yang seharusnya dimiliki oleh melodrama semacam ini. Hasilnya, penonton cuma disuguhkan cerita yang begitu-begitu saja, berputar di itu-itu saja. Dan Hanny ngotot sekali memancing kesabaran penontonnya melalui itu-itu saja.
Bahasa sepertinya sudah jadi ciri khas Hanny. Dalam Heart, Love is Cinta, bahkan terakhir Sweetheart, Hanny R. Saputra memampangkan bahasa-bahasa sok tingkat tinggi. Sayangnya bahasa sok puitis sok tingkat tinggi yang ditampilkan terlalu monoton. Kebanyakan tidak penting dan sekedar bergombal ria alias omong kosong belaka yang disusun dengan sangat menjemukan. Mungkin Hanny perlu mencontoh bagaimana Shakespeare in Love, atau film-film shakespearean lainnya mampu menghasilkan dialog-dialog dengan bahasa baku yang dinamis. Sayangnya Hanny adalah Hanny, bukan Shakespeare. Dan filmnya ini terlalu menjemukan untuk diikuiti. Kok mau-maunya Reza Rahadian tampil di film semacam ini, sebagai tokoh minim yang tidak terlalu penting juga?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar