Oleh: Rio Johan (Rijon)Sutradara: Max Makowski
Pemain: Nick Stahl, Eddie Kaye Thomas, January Jones, Lori Heuring, Derek Hamilton, Amber Benson
Tahun Rilis: 2002
Taboo adalah sebuah suspense tentang tabu. Taboo dipenuhi oleh tokoh-tokoh pendosa, kejam, keji, dan licik yang tentunya bukan sebuah panutan. Taboo jelas bukan film bermoral, atau tentang moral, malah sebaliknya. Seperti yang tersurat di judulnya, dan sudah saya bilang di awal, Taboo adalah sebuah suspense tentang tabu.
Taboo mengambil potret segrup sahabat kalangan atas (kalangan glamor), atmosfir glamor ini agak mengingatkan saya dengan beberapa judul film, antara lain: Cruel Intentions dan Gossip—kedua film ini juga tentang pendosa dan bermuatan kejam, keji, dan licik.
Taboo dibuka dengan sebuah adegan permainan yang dilakukan enam orang sahabat (tiga cewek, tiga cowok). Permainan ini termasuk tidak pantas dimainkan, apalagi dengan sesama sahabat. Garis besarnya, enam kartu berisi enam pertanyaan keji dibagikan ke masing-masing satu orang, tiap orang harus menulis jawaban pertanyaan “ya” atau “tidak” yang di kartu yang didapat, kemudian kartu akan diacak dan dibacakan. Keenam pertanyaan itu menyinggung soal seks, dan jelas sekali pertanyaan yang tabu untuk ditanyakan:
Alur cerita meloncat setahun kemudian, keenam sahabat ini berkumpul kembali di kediaman mewah, tapi menyeramkan, milik salah satu dari mereka. Semakin malam, adegan demi adegan semakin terungkap, dan jelas salah satu dari enam orang ini punya rencana jahat, terutama ketika sebuah paket datang berisi lima kertas masing-masing bertuliskan: “Homosexual,” “Infidel,” “Prostitute,” “Rapist,” dan “Hypocrite.” Jelas itu bukan tuduhan main-main, dan tentu mengingatkan pada permainan “Taboo” yang mereka mainkan di pembukaan film. Selanjutnya kisah Taboo bergulir seputar pemecahan misteri, dan layaknya film suspense pada umumnya, twist demi twist pun bermunculan.
Ide mengemas sebuah suspense dengan setting hanya di suatu malam dan di suatu tempat sebenarnya ide yang cukup menarik. Permasalahannya, hampir semua yang disuguhkan Taboo, dan cara sang sutradara mengeksekusi filmnya, tidak benar-benar berhasil, tidak benar-benar mengena, dan tidak benar-benar efektif untuk film setipenya. Sangat disayangkan, karena Taboo sendiri sudah diisi oleh deretan pemain yang cukup baik. Penyebab utamanya, kurang lebih, adalah pace-pace yang ganjil dan jalinan cerita yang tidak terbangung dengan baik. Misteri yang disuguhkan Taboo agak bervariasi, mulai dari misteri pembunuhan sampai misteri ala opera sabun. Sayangnya tidak satupun misteri di film ini yang terkemas dengan cukup baik. Sebenarnya saya ingin sekali menganggap Taboo, setidaknya, sebagai sebuah film yang menghibur, sayangnya film ini melakukan kesalahan-kesalahan yang cukup fatal untuk mampu menghibur.
Pemain: Nick Stahl, Eddie Kaye Thomas, January Jones, Lori Heuring, Derek Hamilton, Amber Benson
Tahun Rilis: 2002
Taboo mengambil potret segrup sahabat kalangan atas (kalangan glamor), atmosfir glamor ini agak mengingatkan saya dengan beberapa judul film, antara lain: Cruel Intentions dan Gossip—kedua film ini juga tentang pendosa dan bermuatan kejam, keji, dan licik.
Taboo dibuka dengan sebuah adegan permainan yang dilakukan enam orang sahabat (tiga cewek, tiga cowok). Permainan ini termasuk tidak pantas dimainkan, apalagi dengan sesama sahabat. Garis besarnya, enam kartu berisi enam pertanyaan keji dibagikan ke masing-masing satu orang, tiap orang harus menulis jawaban pertanyaan “ya” atau “tidak” yang di kartu yang didapat, kemudian kartu akan diacak dan dibacakan. Keenam pertanyaan itu menyinggung soal seks, dan jelas sekali pertanyaan yang tabu untuk ditanyakan:
“Would you have sex with a minor?”
“Would you sleep with someone of the same sex?”
“Would you have a threesome?”
“Would you have sex for money?”
“Would you sleep with your partner's bestfriend?”
“Would you sleep with a relative?”
“Would you sleep with someone of the same sex?”
“Would you have a threesome?”
“Would you have sex for money?”
“Would you sleep with your partner's bestfriend?”
“Would you sleep with a relative?”
Keenam pertanyaan itu seolah-olah diberikan secara acak, tapi coba tebak, ini film suspense kan? Permainan ini mereka beri nama “Taboo.”
Alur cerita meloncat setahun kemudian, keenam sahabat ini berkumpul kembali di kediaman mewah, tapi menyeramkan, milik salah satu dari mereka. Semakin malam, adegan demi adegan semakin terungkap, dan jelas salah satu dari enam orang ini punya rencana jahat, terutama ketika sebuah paket datang berisi lima kertas masing-masing bertuliskan: “Homosexual,” “Infidel,” “Prostitute,” “Rapist,” dan “Hypocrite.” Jelas itu bukan tuduhan main-main, dan tentu mengingatkan pada permainan “Taboo” yang mereka mainkan di pembukaan film. Selanjutnya kisah Taboo bergulir seputar pemecahan misteri, dan layaknya film suspense pada umumnya, twist demi twist pun bermunculan.
Ide mengemas sebuah suspense dengan setting hanya di suatu malam dan di suatu tempat sebenarnya ide yang cukup menarik. Permasalahannya, hampir semua yang disuguhkan Taboo, dan cara sang sutradara mengeksekusi filmnya, tidak benar-benar berhasil, tidak benar-benar mengena, dan tidak benar-benar efektif untuk film setipenya. Sangat disayangkan, karena Taboo sendiri sudah diisi oleh deretan pemain yang cukup baik. Penyebab utamanya, kurang lebih, adalah pace-pace yang ganjil dan jalinan cerita yang tidak terbangung dengan baik. Misteri yang disuguhkan Taboo agak bervariasi, mulai dari misteri pembunuhan sampai misteri ala opera sabun. Sayangnya tidak satupun misteri di film ini yang terkemas dengan cukup baik. Sebenarnya saya ingin sekali menganggap Taboo, setidaknya, sebagai sebuah film yang menghibur, sayangnya film ini melakukan kesalahan-kesalahan yang cukup fatal untuk mampu menghibur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar