Debutan Whitney Houston ini dikategorikan dalam
romantic thriller. Saya menangkap sisi
romantic-nya.
Well made. Sejujurnya, saya lebih suka menyebut
The Bodyguard sebagai film tentang hubungan ketimbang
romantic. Malahan, saya menikmati eksplorasi hubungan antara tokoh Whitney Houston dan tokoh Kevin Costner.
As for the thriller,
well,
for entertainment—
and for the plot device itself—
it was okay.
Sejujurnya lagi, saya malah lebih menikmati
The Bodyguard sebagai film tentang juktaposisi dua prioritas yang saling berlawanan ketimbang
romance-nya. Maksudnya? Untuk itu lebih baik saya jabarkan dulu garis besar cerita
The Bodyguard.
The Bodyguard dibintangi oleh Whitney Houston, sang diva, yang berperan sebagai seorang diva, Rachel Marron, yang sama sukses dan sama terkenalnya dengan Whitney Houston sendiri. Untuk ukuran debutan, Whitney Houston terbilang memilih peran yang sangat aman. Amat sangat aman malah, karena tidak lain Whitney Houston sama sekali tidak perlu berakting macam-macam. Simpelnya, Whitney Houston memerankan tokoh yang kurang lebih dirinya sendiri. Sedangkan Kevin Costner berperan sebagai Frank Farmer,
bodyguard kelas atas yang masih
shock karena usaha pembunuhan Presiden Ronald Reagan, salah satu kliennya—fakta fiksional.
Rachel menerima surat ancaman kematian berkala dari seorang maniak, dan Farmer diperkerjakan sebagai
bodyguard. Di sinilah
thriller-nya. Tapi
thriller-nya sendiri sebenarnya tidak terlalu penting, sekedar bumbu, bukan daya tarik utama film ini. Arah jainan cerita pun sebenarnya sudah bisa ditebak. Saya yakin penggila film manapun (yang
ngaku demen film) pasti sudah menebak.
Tapi kemenarikan
The Bodyguard bukan pada tebak-tebakan siapa sebenarya pelaku di balik surat-surat ancaman itu. Ya, ada
suspense di film ini. Dan mengenai
suspense-nya, saya justru merasa film ini agak curang. Tapi daya tarik
The Bodyguard bukan pada
suspense-nya, melainkan pada hubungan antara Rachel dan Frank.
Ada juktaposisi yang terbangun cukup baik, seperti yang saya sebutkan di awal. Rachel, seorang diva, jelas prioritas utamanya menghibur para penggemarnya yang sudah membawa namanya menuju ketenaran dan kesuksesan. Itu obligasi Rachel sebagai penyanyi. Sementara Frank, sang
bodyguard, prioritas utamanya justru melindungi Rachel dari anarkisme dan fanatisme para
fans. Itu obligasi Frank sebagai
bodyguard. Terjadilah tensi antara dua orang yang seharusnya saling kooperatif ini.
Ada beberapa fakta tentang sinsme Hollywood di film ini, salah satunya yang paling terasa adalah tentang manager yang lebih mementingkan publisitas dan karir sang aktris ketimbang keselamatan aktris itu sendiri. Whitney Houston dinominasikan Razzie di film ini. Saya sama sekali tidak melihat ada yang salah dengan penalmpilan Whitney Houston. Kalau dilihat dari penampilannya, penampilan Whitney Houston terbilang oke. Memang, kalau dilihat dari pemainnya, jelas tidak ada yang perlu di-
applause dari penampilan Whitney Houston ini, karena dia jelas sekali cuma perlu berperan sebagai dirinya sendiri. Kevin Costner juga memperlengkap film ini dengan penampilannya.
Konon film ini sebenarnya direncanakan diproduksi tahun 1976, dengan Steve McQueen (aktor ternama era 60-70-an, nominator Oscar di film
The Sand Pebbles) dan Diana Ross (diva yang pernah meraih nominasi Oscar melalui
Lady Sings the Blues) hendak dipasangkan sebagai pemeran utama. Saya tidak bisa membayangkan versi mana yang bakal lebih baik. Untuk versi Houston-Costner sendiri, sekalipun masih ada kekurangan di sana-sini, saya cukup menikmati.