Problematik Industri Film Indonesia
SEMENJAK masa (yang katanya) kebangkitan perfilman Indonesia dari tidur panjang, sudah berapa kali tema Islam dieksploitasi oleh pekerja industri film? Tentu masih ingat dengan “Ayat-ayat Cinta” yang bisa dikatakan pelopor film-film bernapas Islami. Sayangnya, ketimbang memberikan potret jujur tentang Islam, “Ayat-ayat Cinta” malah menampilkan romantisme dramatisir sinetronik dengan bumbu-bumbu Islam (Islam cuma jadi bumbu di sini). Tapi tidak bisa dipungkiri kedahsyatan
booming “Ayat-ayat Cinta”, untuk ukuran film Indonesia, mampu membuat beberapa pelakon industri film lainnya menelan liur. Efek lanjutan dari bombastisme itu munculah film-film ekoran seperti: “Syahadat Cinta” dan “Mengaku Rasul”. Sayangnya, dua judul itu tidak mampu menyaingi fenomena “Ayat-ayat Cinta”. Ditinjau dari segi kualitas ataupun cara penyajian film pun, dua judul itu tidak pula bisa dibilang berhasil. Tapi pihak industri, yang umunya pasti cuma mikirin rupiah ketimbang mutu, tidak kehabisan ide, mereka menggunakan formula yang sama dengan “Ayat-ayat Cinta”: mengadaptasi novel Islami ternama dari pengarang terkenal. Lalu muncul judul: “Ketika Cinta Bertasbih 1” dan “Ketika Cinta Bertasbih 2”
. Lagi-lagi, dua judul film ini pun hanya menjadi anak-anak dari “Ayat-ayat Cinta”: tidak mampu memberikan potret Islam yang jujur, masuk akal, realistis, dan yang paling penting tidak mampu memberi potret bersahaja. Tapi perlu diakui, bombatisme “Ketika Cinta Bertasbih 1” dan “Ketika Cinta Bertasbih 2” ini tidak bisa dianggap enteng.
Apakah ini artinya penonton Indonesia gampang terbuai nilai komersil sehingga tidak mampu menuntut nilai seni yang lebih tinggi lagi dari itu?
Potret Islam dalam Layar Kaca yang Paling Jujur, Paling Realistis, Paling Masuk Akal, dan Paling Bersahaja dari semua Film tentang Islam dari Indonesia Sejauh IniDari semua judul film Islami yang saya sebut di atas, muncul judul “3 Doa 3 Cinta” yang tidak diembel-embeli novel
bestseller ala “Ayat-ayat Cinta” ataupun “Ketika Cinta Bertasbih”. Pertanyaannya pertama: Mampukah “3 Doa 3 Cinta” ini menyaingi kedahsyatan penerus-penerusnya. Tidak! Pertanyaan kedua: Mampukah “3 Doa 3 Cinta” memberikan potret jujur, potret realistis, potret masuk akal, dan potret bersahaja tentang Islam? Iya! Bahkan berkali-kali lebih mampu ketimbang para pendahulunya itu.
Kenapa saya bilang begitu?
Pertama, “3 Doa 3 Cinta” melakukan pendekatan realisme yang cukup intensif dalam tiap-tiap adegannya, jadi beda dengan “Ayat-ayat Cinta” ataupun “Ketika Cinta Bertasbih” yang lebih menggunakan pendekatan dramatisme (malahan berlebihan). Pendekatan realisme ini bisa dilihat dari emosi dan ekspresi yang diampilkan para pemain,
sound effect, kecepatan alur, hingga arah pengembangan ceritanya. Memang, sebagai konsekuensinya, film-film dengan pendekatan realisme kental selalu menjadi momok bagi “penonton awam” yang umumnya menuntut dramatisme dalam film.
Kedua, tema yang diusung lebih tersentral ke pola kehidupan muslim (potret Islam) ketimbang menitik beratkan pada opera sabun percintaan. Jadi sudah bisa dipastikan, dibanding “Ayat-ayat Cinta” ataupun “Ketika Cinta Bertasbih”, film ini jauh lebih memberikan potret nyata tentang Islam. Temanya tepatnya: film ini mencoba memberikan gambaran Islam melalui pengalaman-pengalaman tiga orang santri.
Ketiga, film ini
tidak mencoba menampilkan lingkungan muslim (dalam kasus ini lingkungan pesantren) sebagai lingkungan yang sempurna. Atau bisa juga dikatakan, film ini tidak hanya menampilkan potret baik-baiknya saja dari lingkungan pesantren, tapi juga, dengan jujur, menampilkan potret buruknya.
Keempat, film ini tidak men
-judge dan tidak menggurui. Tidak ada pihak-pihak, prilaku-prilaku, kejadian-kejadian, ataupun tata-cara yang dihakimi secara Islam oleh film ini. Seperti yang saya bilang di awal-awal, film ini memberikan pesan berupa potret jujur, bukan penghakiman, bukan pula ceramah. Menurut saya, faktanya, film dengan pesan berupa potret seperti ini yang jauh lebih efektif untuk menggambarkan Islam, ketimbang ceramah (atau malah penghakiman).
Lengkap sudah!
Pengalaman Tiga Santri dengan Tiga Doa Masing-masingMasuk ke cerita, film ini menceritakan pengalaman suka-duka kehidupan pesantren dari bola mata tiga tokoh utamanya (yang pasti Dian Sastro bukan tokoh utama di sini). Dengan cukup baik, film ini memotret intrik ketiga tokoh itu dalam menelaah nilai-nilai Islam yang mereka dapat di pesantren, lalu menanamkannya bukan hanya pada kehidupan dalam pesantren tapi juga kehidupan luar yang sarat aroma globalisme. Ketiga santri yang dipampang pun, seperti yang saya bilang sebelumnya, tidak digambarkan sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna, tapi sebagai peremajaan tiga orang santri dengan sifat dan pemahaman masing-masing. Lebih tepatnya, Nurman Hakim juga menyajikan gambaran
coming-age di film ini. Yap, satu poin lagi, Nurman Hakim juga membahas pertabrakan nilai-nilai Islam yang dipegang santri itu dengan globalisme yang mereka temui di luar.
Mari bahas satu persatu
quest tiga santri ini secara terpisah.
Ketika Tertabrak Fakta Sensualitas dalam GlobalismeSantri pertama Huda, diperankan oleh Nicholas Saputra, merupakan santri yang paling disukai Kyai Wahab (pemimpin pesantren). Tokoh Huda ini diceritakan mempunyai konflik kerinduan dengan sang ibu yang karena masalah moral telah meninggalkannya di pesantren tersebut. Misi pencarian alamat ibu mempertemukan Huda dengan Donna Satelit, penyanyi dangdut di sebuah pasar malam yang dimainkan oleh Dian Sastro.
Singkat cerita, Huda pun berkenalan dengan penynyi dangdut seksi yang selalu ziarah ke makam itu. Huda meminta bantuan Donna untuk mencari alamat ibunya di Jakarta. Donna tidak mau gratisan. Terpakailah uang tabungan Huda. Tapi, kalau penonton mau menilik lebih dalam lagi, bukan misi pencarian sang ibu sebenarnya konflik utama tokoh Huda ini, melainkan hubungan sekilas yang terjalin antara Donna dan Huda. Bukan cinta ala remaja penuh gelora seperti yang ditampilkan di “Ada Apa Dengan Cinta?”, melainkan
hanya sebatas hubungan intens sekilas.
Mungkin penonton yang lebih kritis (bukan penonton yang cuma berharap film ini dibawa ke arah romantis-romantisan) bakal lebih menangkap maksud sang sutradara ketika menyimak adegan intens antara Huda dan Donna di belakang panggung. Perhatikan bagaimana air muka Huda ketika melihat paha telanjang Donna. Atau ketika Donna tiba-tiba melumat bibir Huda. Itulah sebenarnya puncak klimaks dari tokoh Huda ini: pertabrakan dengan fakta sensualitas dalam masyarakat global.
Untungnya, Nurman Hakim tetap bisa konsisten pada
pace dan pada idealismenya dalam adegan ini. Beliau tidak membuat tokoh Huda menodongkan jari pada tokoh Donna Satelit. Beliau juga tidak menjatuhkan penghakiman pada Huda. Malahan, di
ending-nya, tokoh Huda yang sudah pernah melihat paha mulus Donna bahkan dilumat bibirnya, tetap menikahi anak Kyai Wahab dan meneruskan pesantren tempat dia belajar. Saya rasa, kalau saja penonton mau berpikir kritis ketika menyimak adegan itu, maka dapatlah baik pesan maupun inti cerita dari tokoh pertama ini.
Menyikapi Globalisme
Bicara tentang tokoh kedua, Rian, yang diperankan oleh Yoga Pratama, berarti bicara tentang keterbukaan Islam terhadap budaya di luar Islam. Tokoh Rian digambarkan sebagai tokoh yang paling periang dari ketiganya, obsesif, dan paling
open minded bila berbicara tentang globalisme.
Mungkin ada yang masih ingat tentang gossip-gossip bahwa
bioskop itu haram yang sempat beredar dulu. Bagian Rian ini mengingatkan saya pada gossip itu. Tokoh Rian ini juga mengingakan pada tokoh Salvatore Di Vita dalam “Nuovo Cinema Paradiso” (tapi bukan berarti plot bagian Rian ini mencontek). Sinema. Cerita tentang tokoh Rian ini berputar mengenai obsesinya tentang kamera. Rian mendapat hadiah sebuah
handycam dari sang ibu. Dengan
handycam itu, tiga sahabat itu pun merekam pengalaman sehari-hari mereka di pesantren. Bukan hanya pada
handycam, Rian pun berkenalan dengan seorang pemutar layar tancap, yang diperankan Butet Kertarajasa, di pasar malam (tempat Donna Satelit manggung). Dengan penuh semangat, Rian menumpahkan semua ketertarikannya pada pemilik layar tancap itu. Bahkan, Rian sendiri sempat menyatakan keinginannya untuk ikut serta dalam rombongan ketika lulus dari pesantren kelak.
Lantas, kira-kira apa yang ingin disampaikan Nurman Hakim dari drama obsesi tokoh Rian ini? Andai saja penonton awam mau berpikir sedikit lebih kritis, pastilah bakal menangkap pesan seputar
menyikapi globalisme dari tokoh ini. Kenapa
handycam harus diharamkan (dari adegannya di film)? Kenapa sinema harus diharamkan? Kenapa bioskop harus diharamkan? Apakah alasannya hanya karena hal-hal tersebut berbau-bau Amerika? Berbau-bau Barat? Begitulah kira-kira pesan yang dibebankan pada tokoh
video-
holic ini.
Kritik Tentang Pemahaman Terorisme Syahid, tokoh ketiga yang diperankan Yoga Bagus. Seperti namanya Syahid (yang diambil dari kata mati syahid), tokoh ini merupakan tokoh kontras dari tokoh Rian tadi. Pendiam. Anti terhadap hal-hal yang tidak Islami. Nurman Hakim sendiri tidak serta merta berat sebelah dalam membahas masalah-masalah terorisme melalui kacamata Syahid ini. Beliau, dengan cukup pintar, malahan melayangkan kritiknya pada dua pihak sekaligus: pihak yang menuding semua Islam adalah teroris sekaligus pihak teroris.
Terlibat kemiskinan merupakan alasan utama tokoh Syahid untuk kemudian menjerumukan diri pada dunia terorisme. Tokoh-tokoh dililit kemiskinan seperti Syahid ini memang rentan terjatuh pada dunia-dunia terorisme, setidaknya begitulah yang terjadi di Indonesia. Apalagi kebencian ekstrim Syahid terhadap kaum-kaum non-Islam menjadi nilai jual tersendiri bagi terorisme. Tanah bapaknya yang dibeli murah oleh orang Amerika malah memperparah kebencian Syahid terhadap umat-umat kafir. Tetapi pemahaman moral Syahid ahirnya diuji ketika orang Amerika, yang membeli tanahnya itu, malahan melunasi semua biaya pengobatan. Lantas apa tindakan yang dilakukan Syahid ketika mendapati fakta itu? Mungkin sebaiknya silahkan disimak sendiri di film. Mungkin lebih baik tanyakan kembali pada diri masing-masing dilema yang dihadapi Syahid itu.
Tetek Bengek LainnyaSelain tiga fokus utama itu, tentu ada
spicing-spicing lain yang ditabur Nurman Hakim di film ini. Ada menu utama, ada bumbu pastinya. Hakikatnya, bumbu ini ibarat cabai atau garam yang tidak bakal nikmat bila terlalu sedikit dan tidak akan sedap bila berlebihan. Untungnya, bumbu-bumbu yang ditabur di film ini tidak melenceng dan dapat disatukan dengan baik oleh Nurman Hakim. Salah satunya yang menarik perhatian saya: isu homoseksual dan poligami, meskipun hanya dibahas sekilas karena cuma berposisi sebagai bumbu.
Penampilan ketiga pemain yang memerankan ketiga tokoh itu pun bisa dibilang pas. Saya bahakn memberi
ekstra applause pada Yoga Pratama yang memerankan Rian dengan cukup sempurna.
Satu kritik kecil. Entah bagaimana ceritanya, mungkin hanya trik pemasaran pihak produser, kenapa poster film ini harus menampilkan Dian Sastro dan Nicholas Saputra. Sekalipun itu trik pemasaran, tentu hasilnya malah menimbulkan ekspektasi menyimpang dari tema sebenarnya (dan saya pun merasakannya sebelum menonton film ini). Padahal kalau ditilik, Dian Sastro hanyalah pemeran pembantu di film ini.
Sangat disayangkan, film bermutu seperti ini malah tertutup esensinya di mata penonton awam hanya karena trik pemasaran itu. Apakah ini menegaskan bahwa pada film bermutu sekalipun, nilai komersil masih
harus “
dikejar-kejar”?