Pada dasarnya “The Karate Kid” versi 1984 (atau dipersingkat “The Karate Kid” saja) menjanjikan segala macam premis yang sebenarnya sudah umum untuk ukuran film-film bela diri, klise malah. Dari premis, atau trailer, atau poster, atau malah judulnya saja sudah bisa ditebak garis besar ceritanya: sang pahlawan (tokoh utama, biasanya lugu) dibabak-belurkan oleh sang antagonis, lalu sang pahlawan bangkit (latihan, berguru dengan seseorang, etc), dan akhirnya sang pahlawan berhasil mengalahkan sang antagonis di akhir kisah. Umum. Klise. Dan jujur saja formula semacam ini sudah sangat sering dijumpai di film-film
martial arts. Pernah lihat “Never Back Down” yang dibintangi Sean Faris dan Cam Gigandet? Atau “Sebelah Mata,” film Indonesia dengan formula sejenis? Atau film-film
martial arts yang dibintangi Jean Claude Van Damme? Atau “Rocky”-nya Sylvester Stallone? Pasti tahu formula umum yang saya maksud.
Penonton disuguhkan Daniel Larusso (Ralph Maccio) sebagai tokoh utama, atau sang pahlawan. Daniel dan ibunya (Randee Heller) baru saja pinda ke California, dan Daniel kesal dengan keputusan ini. Daniel adalah sosok tipikal remaja pada umumnya. Daniel mencoba mendekati gadis cantikdari California, Ali (Elisabeth Shue). Sayangnya, Daniel malah mendapat masalah dengan Johnny (William Zabka). Daniel pun jadi bulan-bulanan Johnny (yang ternyata jago karate). Parahnya, bukan cuma bulan-bulanan malam itu saja, bahkan Daniel tetap jadi bulan-bulanan Johnny di sekolahnya. Sampai akhirnya, Daniel berteman dengan seorang pria Jepang, Mr. Miyagi (Pat Morita). Singkatnya, Daniel dan Mr. Miyagi membuat semacam kesepakatan dengan guru karate Johnny (Martin Kove) yang kesimpulannya Daniel bakal ikut sebuah turnamen karate.
Mr. Miyagi pun mengajarkan karate pada Johnny. Tapi sistem (cara mengajar) Mr. Miyagi di sii bisa dibilang menarik. Mr. Miyagi tidak mengajarkan “tinju,” “tendang,” atau “jurus-jurus karate,” sebaliknya Mr. Miyagi malah menyuruh Daniel mencuci mobil, mengecat tembok, dan menyikat lantai. Hari-hari Daniel bersama Mr. Miyagi pun diisi dengan mencuci mobil, mengecat tembok, dan mencuci lantai, bukan layaknya latihan karate yang Daniel bayangkan. Daniel pun protes. Dan ketika Daniel protes ini, terlihat bahwa Mr. Miyahi punya metode sendiri melatih Daniel.
Lompat ke
ending, layaknya film-film serupa, film ini pun diakhiri dengan sebuah pertandingan antara sang pahlawan melawan musuh sejatinya.
Ending ini bahkan sudah bisa ditebak sejak awal film. Dan konklusi yang bisa ditarik dari
ending ini cuma dua: Daniel menang dan mampu membuktikan harga dirinya, atau Daniel kalah (titik).
Dari mana muncul empat bintang yang saya beri?
Pesona utama film ini bukan pada
ending-nya, bukan pada
martial arts-nya, dan bukan pada
plot-nya. Pesona utama film ini ada pada momen-nya, suasana-nya, dan
chemistry-nya – yang sering sekali diabaikan film-film serupa (dan cenderung lebih mempertontonkan aksi-aksi beladiri semata).
Pertama, dari segi
chemistry, hubungan yang paling menonjol untuk di simak di sini adalah pertemanan Daniel dan Mr. Miyagi. Dua-duanya merupakan makhluk yang bisa dibilang
sangat tidak mungkin untuk berteman dekat. Tapi, karena situasi dan kondisi tertentu, keduanya pun menjalin hubungan: bukan hanya guru-murid lagi, tapi sebagai teman, dan seiring berjalannya cerita hubungan mereka tidak lagi sebagai teman. Ada
scene di mana Mr. Miyagi teler karena mabuk-mabukan, dan Daniel membantu Mr. Miyagi ke ranjang, lalu menyelimutinya. Bahkan Mr. Miyahi memberikan Daniel kado di hari ulang tahunnya. Hubungan Daniel dan Mr. Miyagi, seakan-akan, sudah sampai level ayah-anak (atau kakek-cucu). Gambaran hubungan Daniel dan Mr. Miyagi yang kuat ini jelas tidak akan terwujud bila tidak ditopang
chemistry yang dibangun sangat baik oleh kedua pemerannya.
Pemilih kedua tokoh itu pun bisa dibilang sangat-sangat pas. Untung sekali Ralph Maccio, yang kurus dan tidak kekar, dipilih sebagai pemeran utama. Ralph Maccio jelas bukan tipikal aktor-aktor remaja tampan Hollywood yang lebih mengandalkan tampang ketimbang akting (tahu yang saya maksud?). Ralph Maccio tampil sangat natural di sini, dan bisa dilihat perkembangan kualitas Ralph Maccio selanjutnya di “My Cousin Vinny.” Pat Morita yang paling bersinar di film ini. Pat Morita menghadirkan tokohnya bukan hanya sekedar ahli karate, tapi sebagai tokoh yang hidup dengan karate. Karate seolah-olah mengalir di darahnya, bukan sebagai tinju-tendang atau sarana pertahanan diri, tapi juga sebagai penyeimbang hidup. “Hidup harus seimbang, kata Mr. Miyagi.” Butuh pendalaman yang tepat untuk mengantarkan dialog itu. Dan Pat Morita bukan hanya berhasil mengucapkan dialog itu, tapi juga berhasil membangun momen-nya.
Selain ditpang oleh
chemistry, hubungan Mr. Miyagi dan Daniel juga sangat dibantu oleh momen-momen yang berhasil diciptakan (atau ditangkap). Seperti momen Daniel menyelimuti Mr. Miyagi (yang merupakan momen penting), atau latihan di pantai, atau ketika Mr. Miyagi berkata bahwa karate bukan hanya pelajaran beladiri tapi juga pelajaran tentang hidup, atau ketika Daniel bersikeras akan bertanding sekalipun kakinya cedera, momen-momen itu berhasil diciptakan dengan sangat baik oleh sang sutradara “Rocky.” Tidak heran kalau film ini masuk list 100 besar 100 Film Cheers versi AFI.
Pada akhirnya, sekalipun dengan formula klise dan
ending yang tertebak, “The Karate Kid” punya suguhan sendiri yang sangat patut dipertimbangkan. Film ini tidak hanya berakhir sebagai film-film beladiri semata, lebih dari itu film ini juga merupakan gambaran menarik
coming of age. Daniel bisa saja melaporkan tindakan Johnny ke ibunya atau ke pihak sekolah, tapi Daniel tidak mau. Perasaannya sebagai laki-laki yang mungkin menolak. Dan jelas harga dirinya bakal jatuh bila dia melapor (
ngadu). Dari Mr. Miyagi (dan dari karate), Daniel mendapatkan pelajaran tentang keseimbangan hidup. Dan pada akhirnya (di adegan ketika kaki Daniel cedera), Daniel tidak hanya diharuskan untuk mengambil keputusan terus bertanding atau berhenti, tapi juga diharuskan mengambil keputusan hidupnya sendiri.
Sutradara: Harald Zwart
Pemain: Jaden Smith, Jackie Chan, Taraji P. Henson, Zhenwei Wang, Yu Rongguang, Wen Wen Han
Tahun Rilis: 2010
Film ini merupakan
remake dari “The Karate Kid” (1984)
Lalu muncul
remake versi 2010. Di versi 2010 ini, Ralph Maccio digantikan oleh Jaden Smith, Pat Morita digantikan oleh Jackie Chan, Elisabeth Sue digantikan Wen Wen Han, William Zabka digantikan Zhenwei Wang, dan Taraji P. Henson dipercayakan sebagai ibu dari Jaden Smith.
Tidak perlu lagi saya gambarkan plot versi 2010 ini, karen saya sudah menulis garis besarnya di atas (versi 1984) dan kurang lebih sama. Yang perlu dilakukan, hanyalah mengganti beberapa detil di plot singkat versi 1984 yang saya tulis: Daniel menjadi Dre, Mr. Miyagi menjadi Mr. Han, Johnny menjadi Cheng, Ali menjadi Mei Ying, California menjadi Beijing, dan Karate menjadi Kung Fu. Tunggu, lalu kenapa judulnya tetap “The Karate Kid,” bukan “The Kung Fu Kid”?? Saya rasa pertanyaan ini silahkan diajukan pada produser filmnya.
Bagi yang sudah pernah menonton “The Karate Kid” versi 1984, versi
remake ini bakal sangat membangkitkan memori tentang film originalnya. Dan bagi yang belum, film ini masih teta dapat dinikmati.
Terlepas dari
remake atau bukan, versi 2010 ini tereksekusi dengan baik. Baik Jaden Smith ataupun Jackie Chan masing-masing mampu membangun
chemistry satu sama lain. Kredit paling besar pada Jackie Chan, yang biasanya cenderung memerankan tokoh komedik (komikal), tapi diharuskan mengkompresi emosinya sampai level serius di sini. Jackie Chan bisa akting serius (dan bagus) juga kok!
Kalau harus mengambil perbandingan, memang versi 2010 ini tampil tidak sekuat versi 1984. Momen yang dihadirkan di versi 2010 ini tidak semenggugah momen-momen yang bisa dirasakan di versi 1984. Momen ketika Daniel menyelimuti Mr. Miyagi lebih terasa menggugah ketimbang momen Dre (menggunakan semacam tongkat bambu) menghibur Mr. Han, misalnya. Dan adegan
Dance Dance Revolution dengan lagu “Poker Face”-nya Lady Gaga, jujur saja, agak aneh.
Chemistry antara Ralph Maccio dan Elisabeth Sue pun terbangun sangat baik, sementara
cemistry antara Jaden Smith dan Wen Wen Han hanya terasa di beberapa
scene (dan tidak terasa di beberapa
scene). Setidaknya, versi 2010 tetap dapat tampil sebagai film yang menghibur, bahkan menyenangkan.