FILM ini sebenarnya dibuka dengan cukup baik. Penonton disuguhkan dengan gambaran para manusia yang memilih untuk tetap setia pada Indonesia (tanah air beta) dan rela meninggalkan tanah asal mereka. Di antara manusia-manusia itu tampaklah Tatiana (Alexandra Gottardo) dan putrinya, Merry (Griffit Patricia). Entah karena alasan apa (nasionalisme?), Tatiana dan Merry harus meninggalkan Timor Leste demi Indonesia, dan terpaksa berpisah dengan putranya, Mauro (Marcel Raymond), yang tinggal dengan pamannya. Tidak terlalu digambarkan jelas adakah alasan pribadi kenapa Tatiana memilih meninggalkan Timor Leste dan putranya. Tidak tersurat. Pun tidak pula tersirat. Yang bisa disimpulkan, Tatiana, seorang guru yang mengajarkan lagu “Tanah Air Beta,” besar kemungkinan melakukan itu karena nasionalismenya. Alhasil, Tatiana dan Merry tinggal di sebuah kamp pengungsian di Kupang, merindukan Mauro. Oke. Sebenarnya alasan Tatiana itu terdengar
preachy (moralizing/menggurui – dalam artian berlebihan). Hanya saja saya maafkan, toh masih pembukaan.
Sayangnya, ternyata adegan-adegan
preachy tidak hanya sampai di situ. Kenapa pula Tatiana harus menyanyikan lagu “Tanah Air Beta” di kelasnya? Tidak adakah pelajaran lain yang lebih penting diajarkan (ditampilkan dalam adegan itu)? Baca-tulis? Matematika? PPKN? Kenapa pula di sebuah dinding ada tulisan “NKRI Atau Mati.” Simbolisme-simbolisme nyata dari nasionalisme yang dipajang berlebihan (
overdosis) ini tidak hanya memberi kesan
preachy tapi juga malah terkesan menjadi propaganda pemerintahan. Adegan
preachy lainnya pun muncul lagi ketika Abu Bakar (Asrul Dahlan), penjual bensin yang buta huruf, minta diajarkan membaca pada Tatiana. Bukan permintaannya yang
preachy. Tapi jawaban yang dilontarkan Tatiana selanjutnya malah menambah deretan adegan
preachy yang dihadirkan film ini.
Well, sebenarnya tidak salah bila suatu film membumbuhi pesan-pesan moral pada penontonnya. Hanya saja, seharusnya pesan-pesan moral yang dibubuhi itu tidak merusak esensi seninya. Bukankah film itu seni? Lantas kalau isinya cuma menggurui, apa bedanya dengan ceramah?
Selanjutnya, menyambung masalah bumbu-bumbu nasionalisme yang sudah ditabur berlebihan tadi, ternyata film ini tidak menampilkan sebuah pergulatan sama sekali. Singkatnya, dangkal. Film berlanjut. Merry makin merindukan Mauro. Bahkan, saking rindunya Merry pada Mauro, gadis cilik ini memasangkan baju Mauro pada sebuah bantal lalu berimajinasi seolah-olah tengah meneleponnya. Muncul pula dua tokoh sampingan baru, Koh Ipin (Robby Tumewu) dan Ci Irene (Tessa Kaunang), warga Tionghoa setempat yang baik sekali pada keluarga Tatiana. Muncul juga tokoh Carlo (Yehuda Rumbini), bocah pengungsi yang sering menganggu (menggoda (?)) Merry. Tapi pada intinya, Merry selalu merindukan Mauro tiap malamnya. Dan Tatiana selalu tidak tega melihat keadaan ini.
Masalahnya, Ari Sihasale tampaknya tidak berani menggali lebih dalam esensi cerita ini. Padahal, saya sendiri, melihat sebuah potensi cerita yang kritis bila digali lebih dalam lagi. Film ini sama sekali tidak menunjukkan apakah Merry atau Tatiana menyesali pilihan mereka itu. Adakah dilema batin yang mereka rasakan dari penyesalan itu. Tidak. Film ini hanya sebatas berani menampilkan tokoh Merry yang merindukan kakaknya, tapi tidak pernah menuntut pada sang Ibu kenapa dia harus dipisahkan dengan kakaknya. Film ini hanya sebatas berani menampilkan tokoh Tatiana yang tidak tega melihat putrinya selalu merindukan kakaknya, tapi tidak pernah terlihat merenungkan pilihannya sebelumnya. Seharusnya, akan lebih menggugah
lagi bila disajikan semacam perselisihan/pertentangan antara Merry dan Tatiana itu. Sayangnya: Tidak!
Sunguh disayangkan. Padahal sebenarnya Alexandra Gottardo memberikan penampilan yang cukup menyenangkan. Asrul Dahlan pun tampil, Oke lah. Permasalahan dari sisi penampilan justru muncul dari tokoh anak-anaknya, Griffit Patricia & Yahuda Rumbindi. Kenapa tokoh anak-anak di film ini harus digambarkan seperti tokoh anak-anak di film anak-anak. Apakah ini film anak-anak? Ini bukan “Petualangan Sherina,” kan? Yah, sebut saja, hasilnya film ini malah terlihat
childish (untuk generenya yang seharusnya tidak
childish)
.Ari Sihasale memang gemar sekali menyoroti anak-anak. Terlihat jelas di tiap-tiap film besutannya (“King”). Hanya saja, Ari Sihasale sering kedodoran dalam menggambarkan tokoh anak-anak di film-filmnya. Jelas ada perbedaan penggambaran antara tokoh anak-anak di film anak-anak dengan tokoh anak-anak di film yang bukan film anak-anak. Andai saja tokoh anak-anak di film ini digambarkan lebih realisitis, baik secara emosif maupun secara ekspresif. Banyak film-film yang menampilkan tokoh anak-anak tanpa perlu kehilangan gambaran realistisnya, sebut saja antara lainnya “Children of Heaven” (Iran), “The Color of Paradise” (Iran), “Nuovo Cinema Paradiso” (Italia), atau “Das weiße Band” (German).
Untungnya ke-
preachy-an dan ke-
childish-an itu tidak terlalu berlarut-larut ketika film ini menyuguhkan perjalanan Merry dan Carlo menuju perbatasan. Yah, sekalipun saya masih kecewa karena film ini gagal menampilkan kekritisan ceritanya. Setidaknya, perjalanan dua bocah ini cukup menghibur (tapi cuma sebatas menghibur,
tidak lebih). Melalu perjalanan ini, kita tahu bahwa diam-diam sebenarnya Carlo menaruh perhatian pada Merry. Dan Merry yang jelas sekali membutuhkan Carlo, perhalan-lahan luluh dan mulai menerimanya sebagai teman. Carlo rela mencuri air demi Merry. Carlo rela dikerumuni semut demi Merry. Carlo rela mencuri ayam demi Merry. Lalu mereka bakar ayam tersebut. Nah, muncul lah apa yang dinamakan “cacat logika” di adegan bakar ayam ini. Bagaimana mungkin Merry dan Carlo bisa membakar ayam yang dicuri hidup-hidup? Bagaimana mereka menyalakan api? Ala zaman batu? Bagaimana mereka menyemblih ayam itu? Bagaimana mereka menguliti ayam itu? Dibakar langsung dengan bulunya? Setidaknya, mereka terlalu muda untuk hal tersebut. Apalagi saat itu mereka sedang dalam keadaan, katakanlah, “terdampar.”
Singkat cerita, sampailah pada
ending-nya. Di
ending, tidak terduga, ternyata ke-
preachy-an, yang semerbak di awal-awal film, muncul lagi. Entah kenapa Ari Sihasale membuat adegan Carlo dan Merry menyanyikan lagu “Kasih ibu, kepada beta, tak terhingga sepanjang masa ...
and so on ... and so on ...,” ketika mencari Mauro di perbatasan. Bukan hanya
preachy, adegan ini juga membawa kembali naunsa
childish, sekaligus malah memperkental kesan
over-melodramatis.
Dan sebagai penyelesaiannya, munculah Mauro yang naudzubillah tampannya. Sekalipun sudah dibikin kumuh dan dipakaikan baju lusuh, tetap saja kelihatan parlente. Yah, wajar saja, emaknya saja si cantik Alexandra Gottardo.
Just kidding.Akhir kata:
Maju terus perfilman Indonesia!